Google

Welcome, Selamat datang , Marhaban, Wilujeng sumping, Sugeng rawuh. Thank you, Terima kasih, Jazakallah, Haturnuhun, Maturnuwun. SEV PASCAL .

Minggu, Desember 21, 2008

Mengurai Benang Kusut Birokrasi Pemerintah



Berbicara mengenai seleksi kepemimpinan nasional, orang tidak bisa melepaskan diri dari sistem birokrasi pemerintah sipil, yang seharusnya berfungsi sebagai sumber pasokan sumber daya manusia bagi pucuk-pucuk pimpinan nasional. 

Sayangnya, selama ini, politisasi birokrasi pemerintahan sipil serta relatif rendahnya mutu perekrutan pegawai negeri, menyebabkan jalur karir birokrasi tidak selalu bisa mengantarkan orang-orang terbaiknya untuk sampai ke puncak kepemimpinan nasional. Bahkan, karena jalur pembinaan karir serta kemampuan di tubuh militer relatif lebih baik, serta berbagai pertimbangan politis, maka pucuk-pucuk pimpinan di tubuh birokrasi sipil seringkali diberikan pada para perwira militer, baik aktif maupun purnawirawan. 

Memprihatinkan

Rektor Institut Ilmu Pemerintahan Prof. Dr. Ryaas Rasyid mengakui lemahnya mutu rekrutmen sumber daya pegawai negeri. "Susah mencari putra-putra terbaik buat jadi pemimpin di birokrasi saat ini, mayoritas lebih suka di swasta saja," kata Ryaas pada Yusuf A.S. dari MedTrans. 

Ryaas membandingkannya dengan kondisi pegawai negeri di Singapura. Mereka, tuturnya lebih lanjut, menyeleksi tiap-tiap anak dari sekolah dasar yang dianggap punya bakat dan kemampuan untuk kemudian diberi beasiswa, sampai ke tingkat college dan di proyeksikan untuk bekerja di pemerintahan. "Itu policy (kebijakan-red)-nya Lee Kwan Yew, lulusan terbaik harus masuk ke pemerintahan, jadi bisnis baru dapat lulusan terbaik kedua atau nomer tiga," tandas Ryaas, yang membangun karirnya dari jenjang lurah di Sulawesi Selatan. 

Kenapa Singapura melakukan hal ini? Mereka sadar untuk membangun suatu negeri perlu suatu pemerintah yang baik, untuk memperoleh pemerintah yang baik perlu orang-orang yang baik pula, untuk menerima hasil lulusan yang terbaik mereka perlu dibayar dengan biaya yang terbaik pula, papar Ryaas, "di Indonesia hal seperti ini tidak dilakukan." 

Tidak heran, jika kualitas pendidikan pegawai negeri di Indonesia memprihatinkan. Pada tahun 1994, misalnya, menurut catatan Badan Administrasi Kepegawaian Negara, jumlah pegawai negeri yang mencapai pendidikan paling tinggi Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, mencapai 81,32 persen (3.225.009 orang) dari total pegawai negeri yang ada. Dibandingkan dengan kondisi sembilan tahun sebelumnya, hal ini menunjukkan sedikit perbaikan, karena pada tahun 1985, jumlah pegawai negeri yang mencapai pendidikan paling tinggi SLTA mencapai 87,4 persen. 

Pola Karir yang Aneh

Keprihatinan serupa diungkapkan oleh mantan Menteri Dalam Negeri Jenderal TNI Purn. Rudini. Daftar nilai konduite pegawai negeri sipil tidak jelas, sistem penilaiannya juga tidak jelas, kata Rudini pada Yusuf A.S. dari MedTrans, "Misalnya, disiplin ada yang dapat nilai 80 ada yang 85, beda antara dsisiplin yang 80 dengan 85 itu apa?" 

Malah yang curang, urainya lebih lanjut, kalau yang satu dapat 80 lalu biar yang satunya lagi bisa dapat jabatan terus dikasih 82. Itu kan tidak ada hitungan matematisnya, gugat Rudini, " ‘tunjukkan pada saya disiplin yang 82 dengan disiplin yang 80.’"

Sistem pola karier di sipil itu aneh. Walaupun jabatan tidak naik-naik tapi pangkat bisa terus naik. Misalnya, kata Rudini mencontohkan, golongan boleh 4C tapi jabatannya belum tentu ada. Kalau disiplin militer, mayor yang jadi danyon berhak naik pangkat jadi letkol, kalau ingin naik lagi jadi kolonel harus punya jabatan yang sesuai, papar mantan Kepala Staf TNI AD ini. Di sipil tidak seperti itu, pernah ada anak muda yang pintar dan ingin saya angkat jabatannya tapi pangkatnya ternyata kalah tua dengan beberapa yang lain, tutur Rudini lebih lanjut,"Kok bisa sih, yang lain naik terus-terusan padahal dia bodoh’?".

Selain itu, kata purnawirawan perwira tinggi berbintang empat ini, dikenal istilah pegawai negeri pusat dengan pegawai negeri daerah. Jadi seorang insinyur di kabupaten hanya bisa menjadi kepala kantor wilayah Departemen Pekerjaan Umum di daerah tersebut, tidak bisa jadi direktur jenderal di tingkat pusat. Makanya sering orang sibuk berebut masuk jadi pegawai pusat, kenang Rudini, "Waktu saya dulu jadi mendagri saya dobrak aturan main seperti itu, mekanisme kenaikan pangkat perlu ada aturan-aturan yang lebih jelas." Waktu itu pegawai-pegawai daerah yang punya kemampuan baik punya kesempatan yang sama untuk jadi dirjen di pusat, tutur Ketua Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia ini, "hal yang pernah saya lakukan, tapi saya tidak tahu bagaimana keadaannya sekarang."

Sayangnya, upaya-upaya perbaikan yang dilakukan Rudini semasa menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri tidak diteruskan oleh penggantinya. "Pernah kan Depdagri di-Jawa Barat-kan (posisi-posisi kunci diberikan pada orang Jawa Barat, karena Menterinya mantan Gubernur Jawa Barat-red)," sergah Rudini lagi, itu kan sudah tidak benar lagi mekanismenya. Disitulah kelemahan manajemen birokrasi dan organisasinya, bisa seenak pejabat yang berkuasa.

Politisasi

Persoalan lain yang mengganjal profesionalisasi birokrasi di Indonesia adalah politisasi pegawai negeri, sebagai salah satu mesin suara utama bagi Golongan Karya. Dengan jumlah yang mencapai 4.090.437 orang (pada pemilihan umum tahun 1997), pegawai negeri sipil memberikan sumbangan suara yang cukup besar, mengingat satu kursi di DPR RI mewakili 400 ribu suara. Selain itu, ada keharusan bagi pegawai negeri sipil untuk meningkatkan perolehan suara dengan strategi penggalangan sekasur (suami-istri), sedapur (rumah tangga), sesumur (tetangga), dan selembur (satu kampung).

Seorang guru SD di Kecamatan Gajah, Kabupaten Demak, Jawa Tengah bercerita, dalam harian Kompas edisi 29 November 1998, menjelang pemilu, setiap guru paling tidak harus menyerahkan 10 nama orangtua murid untuk menjadi anggota binaan Golkar. Guru dan istri/suaminya wajib mengikuti kampanye Golkar sejak dari tingkat desa, tempat kerja, kecamatan, sampai kabupaten. Mereka diwajibkan mengikuti arisan dan pertemuan-pertemuan untuk mencari jalan memenangkan Golkar.

Depolitisasi

Karena praktek-praktek seperti ini, tidak heran jika kemudian fungsi dan tugas birokrasi sebagai layanan masyarakat (public service) menjadi bias. Tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kewilayahan LIPI menemukan bahwa kebijakan monoloyalitas birokrasi telah mengakibatkan diskriminasi partai politik oleh birokrasi.

Penggunaan jajaran birokrasi secara struktural untuk kepentingan Golkar, menurut hasil penelitian itu, mengakibatkan pembebanan peran baru PNS sebagai politisi. Akibatnya, PNS dapat menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya, baik yang bersifat administratif maupun finansial, untuk kepentingan golongan politik yang didukungnya, tulis harian Kompas (29 Nov. 1998).

Sadar akan jeleknya konsekuensi atas politisasi pegawai negeri ini, tim penyusun Rancangan Undang-undang Politik, baik dari Departemen Dalam Negeri yang dipimpin Prof. Dr. Ryaas Rasyid, maupun tim dari LIPI yang dipimpin Dr. Indria Samego, sama-sama mengusulkan depolitisasi pegawai negeri, dalam pemilihan umum tahun 1999.

Semula, dalam konsep RUU Politik yang disusun Tim Tujuh Depdagri, pegawai negeri sama sekali tidak memiliki hak dipilih, dan hak memilih, serta hak menjadi anggota atau pengurus partai politik. Namun, karena ada beberapa pihak yang keberatan, akhirnya tercapai kompromi dengan membolehkan pegawai negeri memiliki hak pilih dan hak memilih, namun tidak bisa menjadi anggota atau pengurus partai, kecuali cuti di luar tanggungan negara.

Sementara, dalam konsep RUU Politik yang disusun LIPI, pegawai negeri bisa menjadi anggota partai tetapi tidak dibenarkan menjadi pengurus, pembina, ataupun penasihat partai.

Persoalan kedudukan pegawai negeri ini kemudian menjadi ganjalan saat RUU Politik dibahas oleh DPR. Fraksi Karya Pembangunan DPR RI, yang merupakan fraksi terbesar, bersikeras keempat hak politik, yaitu hak memilih, hak dipilih, hak menjadi anggota serta hak menjadi pengurus partai politik diberikan pada pegawai negeri. Sementara Fraksi Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia hanya mau memberikan hak memilih dan hak dipilih pada pegawai negeri sipil serta melarang mereka menjadi anggota atau pengurus partai politik. Sampai rapat di tingkat Panitia Kerja usai pada pekan pertama bulan Desember 1998, masalah ini belum berhasil disepakati, dan akan dibahas kembali pada masing-masing fraksi.

Baik Ryaas Rasyid maupun Rudini yakin jika mesin birokrasi yaitu pegawai negeri sipil ini dibenahi, maka hal tersebut akan menjadi satu langkah maju menuju pemerintahan yang lebih baik dan transparan. Namun, Ryaas mengingatkan, "Indonesia ini bisa baik kalau di bongkar semua sistem yang ada. Yang diperlukan menjadi seorang pemimpin adalah seseorang yang mengerti persoalan bukan yang sekedar bersih atau sekedar beritikad baik. Dia mesti mengerti betul pada apa yang dia kerjakan."
Ref:transparansi.or.id/

© Copyright 1999 Masyarakat Transparansi Indonesia


Tidak ada komentar:

Recent Coments